Penziarah Gunung Anten sendiri memang masih belum cukup populer bagi wisatawan. Karena memang Gunung Anten belum termasuk dalam objek wisata.
Untuk menuju ke lokasi tersebut, saya dan rombongan berangkat dari Kota Rangkasbitung. Tepatnya di Rancalentah Balong yang merupakan salah satu lokasi objek wisata kuliner di pusat Kota Rangkasbitung.
Akses perjalanan ke Gunung Anten cukup mudah, tidak seperti dulu, karena kondisi jalan cukup baik, sehingga untuk sampai kesana hanya butuh waktu sekitar 1 jam dengan jarak tempuh sekitar 16 Kilometer.
Karena ini merupakan traveling religi. Maka sebelum berangkat ke lokasi wisata tersebut, rombongan terlebih dahulu mampir ke pasar Rangkasbitung untuk membeli bunga 7 (tujuh) rupa dan lainnya. Bunga 7 rupa disiapkan untuk perlengkapan ziarah kubur.
Rombongan pun menuju pasar Rangkasbitung. Hanya saja ketika memasuki kawasan pasar Rangkasbitung, saya merasa heran, karena masuk ke ruas jalan kendaraan harus melalui portal e-parking dengan harga tiket Rp 3 ribu.
“Ini kan jalan umum, kok ada e-parking,” tanya salah satu rombongan kepada saya.
“Malah aneh ya, sudah harus bayar e-parking. Ada lagi parkir tunai,” sambung dia.
Persoalan e-parking tak terlalu kami bahas. Karena kami fokus berbelanja Bu ga 7 rupa. Selesai berbelanja rombongan pun melanjutkan perjalanan ke wisata religi Gunung Anten.
Perjalanan sekitar 1 jam dari Kota Rangkasbitung ke wisata Gunung Anten terasa sebentar. Karena sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan alam yang cukup indah.
Tibalah kami di lokasi, disana kami disambut oleh seorang tokoh pemuda setempat yang biasa disapa Mboh. Karena kami tiba di waktu makan siang. Maka sebelum ke lokasi ziarah kami terlebih dulu disuguhi makanan khas Sunda.
Puas menikmati hidangan makanan, kami pun melanjutkan perjalanan ke lokasi wisata. Perjalanan ke lokasi ditempuh dengan berjalan kaki dengan melewati area persawahan.
Selama perjalanan ke lokasi atau lebih tepatnya lokasi tempat ziarah. Mboh menjelaskan tentang sejarah Gunung Anten. Menurut penjelasan Mboh Gunung Anten sebelumnya bernama Timbanganteun.
Mendengar penjelasan Pak Mboh, saya pun makin penasaran dengan sejarah Gunung Anten. Karena pikir saya, Gunung Anten merupakan sebuah Gunung, namun ternyata bukan.
Penziarahan Gunung Anten sudah tertata, khususnya infrastruktur jalan. Lokasi tempat ziarah yang kami tuju yaitu Kampung Lebak Manggu.
Yang membuat saya terkesan dengan objek wisata Gunung Anten, yaitu keramahan warganya. Suasana pedesaan dengan kearifan lokalnya masih cukup terjaga.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit dengan berjalan kaki dengan melewati sebuah jembatan gantung hasil pembangunan swadaya masyarakat, akhirnya kami sampai di tempat lokasi penziarahan.
Di lokasi makam yang konon cukup dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, kami disambut juru kunci yang biasa disapa Abah Jenara yang sudah berusia sekitar 71 tahun.
Sebelum ziarah, Abah Jenara sempat menjelaskan sejumlah makam yang ada di lokasi wisata tersebut. Menurut Abah Jenara, kono sekitar lokasi makam adalah tempat berkumpulnya para pejuang kemerdekaan.
Di lokasi itu juga terdapat 44 petilasan, salah satunya tokoh yang bernama, Nyimas Inten, Ki Buyut Eyang Jaya Sakti, Ki Buyut Eyang Langlangbuana, Ki Buyut Lodaya.
Story telling Abah Jenara cukup baik, bahkan Abah juga tidak kaku dalam menyambut para wisatawan.
“Bah biasanya yang ziarah kesini orang mana aja,” tanya saya.
“Banyak, tidak hanya wisatawan lokal, wisatawan luar daerah, bahkan luar negeri juga sudah banyak yang kesini ziarah,” jawab Abah yang memiliki perawakan tinggi.
Kejadian aneh
Kami pun akhirnya sampai ke sebuah makam yang dikeramatkan. Namun, hal aneh terjadi disaat pertengahan doa sedang berlangsung. Saat saya memotret tiba-tiba kamera saya terhempas dan jatuh seperti ada yang menarik sesuatu.
Karena penasaran atas kejadian yang saya anggap janggal itu. Lalu saya pun menceritakan hal itu kepada Abah Jenara.
“Bah, tadi pas pertengahan doa ponsel saya yang di taruh didekat keramik makam tiba tiba jatuh seperti tersenggol oleh tangan Padahal pada saat itu tidak ada angin,” tanya saya.
“Seharusnya disini ziarah dulu, jangan poto-poto ke makam sebelum ziarah, berdoa dulu yang khusyuk,” jawab Abah Jenara sambil tersenyum simpul.
Setelah selesai ziarah kami pun pamit pulang, kami kembali melewati jembatan gantung. Saat melintasi jembatan Abah berseloroh. “Mudah-mudahan jembatan gantung ini bisa dibangun permanen ya oleh pemerintah,” kata Abah.
Keluh Abah soal jembatan menurut saya cukup beralasan. Karena memang jembatan gantung itu sangat vital penghubung menuju lokasi ziarah. Apalagi kondisi jembatan cukup memperhatikan.
Kiranya pemerintah daerah bisa membangun jembatan permanen akan lebih baik. Apalagi penziarahan Gunung Anten cukup potensial untuk dijadikan objek wisata religi. Semoga pemerintah daerah bisa mendengar dan meningkatkan fasilitas dan infrastruktur lainnya di lokasi penziarahan potensi wisata itu.
0 Komentar